Home » » Dilema Putra Mas Gondo

Dilema Putra Mas Gondo

Malam Jum'at Kliwon adalah malam yang dianggap keramat bagi masyarakat Jawa, khususnya yang berada di pedesaan. Malam itu diyakini adalah malam dimana mahluk-mahluk gaib yang dikeramatkan keluar dari sarangnya.
Anak Gondoruwo
Malam itu, di bawah sebuah pohon sawo besar tampak seorang pemuda duduk menyendiri, menjauh dari hiruk pikuknya kesibukan para santri yang sedang mengaji atau melakukan aktifitas keagamaan lainnya. Disandarkan tubuhnya di batang pohon. Pandangannya menerawang jauh, menelusuri kegelapan malam, menunggu datangnya seseorang.

Setelah beberapa saat lamanya, tiba-tiba angin berhembus kencang lalu muncul sesosok mahluk besar, hitam berbulu, beberapa langkah di hadapan Gufron sang pemuda itu.
Baca Juga : Misteri Genderuwo dan Kesukaannya

"Asalamu alaikum.." Tegur Gufron, mahluk itu mengangguk dan tersenyum menampilkan deretan gigi-gigi yang putih dan runcing, sangat kontras dengan penampilannya yang hitam mengerikan.

"Ada perlu apa Ngger kok memanggil bapak?" Tanya mahluk itu.

"Saya mau ikut bapak saja, saya sudah tidak tahan lagi menerima hinaan, ejekan dan sindiran orang-orang." Jawab Gufron sambil menitikkan air mata.

Mahluk itu diam sambil menundukkan kepalanya. Sambil menarik nafas panjang dia berkata, "kalau kamu ikut aku, bagaimana dengan ibumu?"

"Biarkan saja ibu bersama suaminya, saya mau ikut bapak saja." Jawab Gufron.

Mahluk itu semakin tertunduk diam. Beberapa lama kemudian, "sebaiknya kamu minta ijin kepada Pak Kyai terlebih dulu, jika Pak Kyai mengijinkan, Bapak akan membawamu. Karena beliau yang merawatmu sejak kamu bayi."

"Ya Pak, tapi Bapak jangan ingkar ya?"

"Asalkan Pak Kyai mengijinkan, Bapak tidak akan ingkar." Kata mahluk itu lalu seperti kedatangannya, kepergiannya diiringi angin berhembus. Wuss .. Maka mahluk itu hilang dari pandangan Gufron.

Gufron merenung sejenak kemudian bangkit berdiri, dihirupnya udara malam lalu dihembuskan seolah membuang beban hidupnya. Dilangkahkan kakinya dengan perlahan, seolah enggan meninggalkan tempat itu. Diterobosnya gelapnya malam tanpa rasa takut, karena ketakutannya adalah menghadapi manusia-manusia yang menganggapnya berbeda, ganjil dan aneh.

Saat sinar rembulan menyinari tubuhnya, terlihatlah bahwa tubuhnya penuh bulu, bahkan mukanya juga penuh dengan bulu-bulu hitam. Seburuk-buruknya penampilannya, ia adalah manusia juga meskipun berdarah campuran.

Di bawah sebuah pohon, tampak seseorang memperhatikan gerak langkah Gufron.

"Kasian anak ini, dia harus menanggung hasil perbuatan orang tuanya." Batin orang itu.

Orang itu, ternyata adalah Kyai sang pemangku pondok yang mengasuh Gufron sejak bayi. Kedua orang tua Gufron dulunya adalah santri di pondok asuhannya.

Sambil mengawasi Gufron, ingatan sang Kyai menerawang ke masa sebelum Gufron lahir.

Surti dan Tejo adalah pasangan pengantin baru yang tinggal di desa dekat pondok pesantren ini. Layaknya pengantin baru kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi bunga-bunga asmara.

Tejo adalah seorang sopir bis antar kota, antar propinsi. Saat bekerja kadang seminggu bahkan satu bulan baru pulang ke rumahnya. Belum habis masa bulan madunya, Tejo harus pergi bekerja. Dengan berat hati Tejo meninggalkan Surti di rumah sendirian. Sementara Surti harus menerima dan melepaskan Tejo untuk mencari nafkah keluarga.

Dua jam berselang sejak kebarangkatannya, Tejo kembali pulang dengan alasan kendaraan yang harus dibawanya masih rusak sehingga dia boleh pulang.

Berpisah dua jam bagi pengantin baru merupakan waktu yang lama sehingga mereka menumpahkan kerinduan itu dengan memadu asmara. Surti merasakan adanya perbedaan, Tejo sekarang lebih perkasa, namun Surti tidak merasa curiga. Hampir semalaman mereka memadu kasih.

Keesokan harinya Tejo pergi, dua jam kemudian kembali pulang lalu mereka memadu asmara lagi. Begitu setiap hari sampai hampir satu bulan lamanya.

Hingga pada suatu hari ketika Tejo pulang, Surti sudah mempersiapkan diri dengan berdandan cantik dan mengenakan pakaian yang menggoda hasrat laki-laki. Namun Tejo bersikap dingin tidak seperti biasanya. Surti heran tapi dia tidak mau bertanya.

Keesokan harinya Surti muntah-muntah, hamil. Tejo heran dan curiga dengan siapa Surti berhubungan, satu bulan lamanya dia tidak pulang ke rumah.

"Kamu selingkuh dengan siapa?" Tanya Tejo sambil gemetar menahan amarah.

"Mas Tejo kok ngomong begitu? Setiap hari Mas Tejo pulang ke rumah dan setiap kali kita berhubungan badan." Jawab Surti.

"Enak saja, baru kemarin sore saya pulang ke rumah ini."

"Lalu yang setiap hari pulang itu siapa? Wajahnya sama, bentuk tubuhnya sama, cara bicaranya sama, ya sampean yang pulang."

"Tidak, demi Allah, demi Rasulullah baru kemarin saya pulang." Sergah Tejo.

Mereka berdua diam, di dalam hati mereka muncul kecurigaan adanya kehadiran orang ketiga. Untuk menghindari pertengkaran lebih dahsyat mereka menghadap Kyai di pondok pesantren.

Sang Kyai tanggap akan apa yang menimpa kedua santrinya itu. Untuk menyelesaikan permasalahan mereka, diambil jalan tengah, Surti tidak bersalah karena dia tidak tahu. Namun Surti sudah mengandung, maka jika anaknya lahir  akan diasuh Kyai di pondok pesantren sementara kedua suami istri itu dipersilahkan memilih jalan yang terbaik.
   
Sekarang Gufron, anak Surti dengan mahluk yang menyerupai Tejo sudah tumbuh menjadi seorang pemuda. Permasalahannya karena bentuk fisiknya berbeda dengan pemuda lain maka dia dikucilkan dalam pergaulan dan sering menerima hinaan dari teman-temannya atau orang yang bertemu dengannya. Teman-temannya memanggilnya Gufron Angon atau Gufron Anak Gondoruwo.

"Asalamu alaikum."

Sang Kyai tergagap kaget ketika dihadapannya telah berdiri Gufron.

"Wa alaikum salam."

"Kebetulan saya bertemu romo Kyai di sini, ada yang akan saya utarakan." Kata Gufron.

"Ehm, apa yang mau kamu utarakan."

"Saya mau ikut bapak saja, di sini saya tidak tahan jika setiap hari dihina dan diperlakukan seperti saya ini bukan manusia."

Sang Kyai terdiam, "sekarang kamu sudah besar, jika memang itu pilihanmu, maka akan saya ijinkan. Pesan saya jangan lupa sholat, di alam bapakmu masih banyak yang belum beragama dengan benar. Kamu harus menjadi teladan yang baik."

"Baik Kyai, terima kasih atas kebaikan Kyai selama ini, saya mohon pamit."

Maka sejak saat itu Gufron menghilang dari kehidupan pondok pesantren. Teman-temannya menyesal telah memperlakukan Gufron dengan kasar.

Semoga Gufron mendapatkan kehidupan yang lebih baik di alam barunya. Dan semoga tidak ada lagi Gufron-Gufron yang lain.

Baca Juga : Jual Beli Genderuwo

0 komentar:

Posting Komentar