Home » » Perempuan Bergaun Putih, Arwah yang Terlupakan

Perempuan Bergaun Putih, Arwah yang Terlupakan

Perempuan Bergaun Putih

Arwah yang Terlupakan 


Malam ini adalah kesempatan terakhir bagi Brodin untuk menyelesaikan tugas kuliahnya, besok harus segera dikumpulkan.  Permasalahannya adalah ia tidak memiliki komputer meskipun kuliah di jurusan Manajemen Informatika yang mengharuskan mahasiswanya setiap hari bergelut dengan komputer.

Pada era tahun 1980-an, komputer yang digunakan di kampusnya masih Pentium 1 dengan monitor hijau putih dan media penyimpanan menggunakan diskette 3.5 atau 5 inch. Meskipun begitu, harga sebuah komputer kala itu belum terjangkau bagi Brodin, sehingga ia harus memanfaatkan laboratorium komputer untuk menyelesaikan tugasnya.

Sialnya, pada hari itu, jadwal praktikum tidak ada yang kosong sama sekali, mulai jam 8 pagi sampai jam 9 malam sudah terisi. Maklum, sudah mendekati akhir semester. Biasanya masih ada satu atau dua jam dimana laboratorium kosong sehingga ia dapat menggunakan salah satu komputernya. Hari ini, terpaksa ia harus menunggu sampai praktikum selesai.

Tepat pukul 9 malam praktikum berakhir, setelah minta ijin kepada petugas laboratorium, Brodin diperkenankan menggunakan salah satu komputer di laboratorium yang berada di lantai dua gedung utama. Laboratorium komputer itu memiliki 12 unit komputer yang diatur dalam tiga kelompok, masing-masing empat unit komputer. Brodin memilih komputer paling belakang, komputer yang sering ia gunakan saat praktikum.

Setelah mempersiapkan peraltannya, mulailah Brodin mengerjakan tugasnya. Karena tenggat waktunya sudah mendesak, maka dengan konsentrasi penuh, ia berusaha menyelesaikannya.

Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, hari sudah tengah malam. Namun belum selesai juga tugasnya, Brodin menjadi gelisah. Teman-temannya sudah pulang semua, tinggal petugas keamanan yang meringkuk di posnya sambil mendengarkan siaran radio.

Permasalahan baru muncul yang harus segera ia selesaikan.

Bagaimana caranya pulang? Pada jam begini, semua angkutan sudah tidak ada yang melewati kampus ini lagi. Terpaksa malam ini, ia harus menginap di kampus ini. Tapi dimana? Semua ruangan sudah dikunci, hanya laboratorium ini yang tersisa.

Brodin mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari tempat untuk merebahkan badannya. Tapi ruangan laboratorium ini sudah penuh dengan komputer, printer dan meja yang menyisakan sedikit jalan.

"Sudahlah di jalan ini tidak apa-apa, yang penting dapat meluruskan badan. Besok setelah mengumpulkan tugas, saya mau tidur seharian dirumah." Batin Brodin sambil meneruskan mengerjakan tugasnya.

Ketika tenggelam dalam konsentrasinya, tiba-tiba printer yang ada di sebelahnya berbunyi.

"Kreek .. Kreek .. Krieek .."

Brodin menoleh sebentar lalu kembali mengerjakan tugasnya, dalam benaknya, saat itu hari masih siang sehingga dianggapnya wajar jika orang lain yang menyalakan printer.

Selang beberapa menit kemudian, komputer di sebelah kirinya menyala, tampak sebuah tulisan di layar monitor.

"Lembur Mas?"
"Ya, besok harus dikumpulkan." Jawab Brodin acuh.

Merasa diacuhkan, sang penanya menuliskan lagi sebuah pesan di monitor.
"Makanya kalau dikasih tugas, buruan dikerjakan! Sudah mepet baru kebingungan."

Brodin melirik ke arah monitor itu, hatinya sedikit kesal tapi ia acuhkan saja. Tugasnya sebentar lagi selesai, hanya kurang beberapa tahap saja sehingga ia lebih mencurahkan konsentrasinya.

Tiba-tiba printer dan komputer di sebelah kanan dan kirinya menyala bersamaan. Suara bisingnya mengganggu  Brodin, untungnya tugasnya sudah selesai, segera ia menyimpannya ke dalam diskette yang dibawanya. Kemudian ia menoleh ke sebelah kiri dan kanannya, alangkah terkejutnya ketika tidak ada seorang pun di ruangan itu.

"Siapa yang menyalakan komputer dan printer tadi?" Batinnya.

Bulu kuduknya merinding, perasaannya menjadi tegang dan gelisah. Segera ia mematikan komputer lalu bergegas keluar ruangan laboratorium.

Belum sempat ia berdiri dari tempat duduknya, lampu ruangan tiba-tiba padam, aroma bunga kenanga menyeruak memenuhi ruangan. Brodin menjadi panik, pandangan matanya berusaha meyesuaikan dengan kegelapan dan aroma yang sangat dikenalnya ketika akan bertemu mahluk gaib jenis tertentu membuat bulu kuduknya meremang.

"Aduh, ketemu hantu lagi." Batinnya.

Dalam gelap ia meraba-raba, mencoba mencari jalan menuju pintu ruangan. Darahnya terkesiap ketika tangannya memegang suatu benda berkulit tapi dinginnya seperti es. Ia merasa penasaran, dirabanya lagi, benda itu mencengkeram lengannya, ternyata sebuah tangan. Disurukkan mukanya ke depan, mau melihat siapakah yang punya tangan itu.

Jantungnya terasa copot, serasa putus nyalinya ketika di hadapannya telah berdiri seorang perempuan bergaun putih. Wajahnya pucat pasi, berambut panjang, matanya sayu, sebagian rambutnya menutupi wajahnya. Kedua tangannya memegang lengan Brodin dengan erat, seolah menahannya agar tidak lari.

gambar perempuan bergaun putih
Baca Juga :

Brodin diam terpaku, nafasnya menggemuruh, aliran darahnya menjadi cepat dan jantungnya berdegup dengan kencang. Belum pernah ia mengalami kejadian seperti ini, bersentuhan langsung dengan hantu.

Sesaat, hilang kendali dirinya. Rasa takut  begitu menguasai dirinya, tulang belulangnya seolah tercabut dari sendinya sehingga tubuhnya terkulai tak berdaya.

Dalam ketidak-berdayaannya, bayangan hantu-hantu di pemakaman gang Tujuh, melintas kembali satu per satu dalam ingatannya, arwah perempuan di bawah pohon, pocong, 'ndas gelundung' dan yang terakhir muncul adalah wajah Eyang Sapu. Bayangan-bayangan itu semakin menambah rasa takutnya, namum ketika wajah Eyang Sapu muncul, timbul harapan dihatinya. Selama masa pengembaraannya di pemakaman gang tujuh, Eyang Sapu lah yang melindungi dirinya.

Brodin berkata dalam hati, "Mbah, cucumu dalam bahaya."

Entah darimana datangnya, Brodin merasa mendapatkan kekuatan yang mengalir melalui peredaran darahnya. Rasa takutnya perlahan hilang.

Sementara wanita itu terkejut seolah ada kekuatan lain melawannya sehingga dengan mudah Brodin melepaskan tangannya, lalu ia berlari menuju pintu, membukanya dan menutupnya kembali. Saat pintu tertutup, lampu ruangan itu menyala kembali, dan sayup-sayup terdengar suara wanita menangis tersedu-sedu.

Setelah mengunci pintu, Brodin dengan nafas terengah-engah dan jantung berdebar-debar  meninggalkan ruangan itu.

Brodin bingung mau pergi kemana, harapannya hanya menemui Pak Pardi, petugas keamanan kampus.

Sampai di pos satpam, Pak Pardi tidak ada sementara ruangan pos berantakan, seperti telah terjadi sesuatu.

"Kemana Pak Pardi? Kok, pos satpam dibiarkan kosong." Batin Brodin sambil merapikan barang-barang yang berserakan di lantai.

Setelah ruangan rapi kembali, Brodin duduk di kursi satpam, menunggu Pak Pardi kembali. Waktu sudah menunjukkan jam setengah dua malam namun Pak Pardi belum juga kembali. Brodin menjadi gelisah, rasa takutnya belum hilang. Bayangan perempuan bergaun putih itu masih lekat dalam ingatannya. Timbul rasa khawatir apabila hantu itu akan menyusulnya. Tujuannya pergi ke pos satpam ini untuk mencari teman agar rasa takutnya sedikit berkurang, namun orang yang dicarinya malah menghilang.

Dari persawahan di depan pos satpam, suara jangkrik dan katak bersaut-sautan, sayup-sayup terdengar suara anjing melolong membuat suasana menjadi lebih mencekam. Kampus ini jauh dari pemukiman penduduk sehingga jika terjadi sesuatu sulit mencari pertolongan.

Brodin duduk membatu di kursi satpam, matanya nyalang mengawasi lingkungan sekitarnya. Hatinya terkesiap ketika dari kejauhan nampak titik hitam dan putih yang berjalan ke arahnya. Semakin lama semakin mendekat, dan berhenti di pos satpam.

"Selamat malam.." Kata sosok berbaju putih dengan logat asing. Di belakangnya, berdiri sosok hitam, tinggi besar. Hanya terlihat matanya yang putih memancarkan sinar menakutkan.

"Selamat malam Romo .." Jawab Brodin ketika melihat dengan jelas sosok yang menegurnya.

"Malam-malam begini belum tidur?"
"Belum Romo."
"Tidak takut sendirian di sini? Kata orang, di sini banyak hantunya."
"Sebetulnya takut, tapi mau pulang sudah tidak ada angkutan lagi. Romo sendiri mau kemana?"

Suara anjing melolong memecah kesunyian malam.

"Boleh saya beritahu sebuah rahasia?"
Brodin mengangguk.

"Saya berdua ini sebetulnya adalah hantu gentayangan yang mau menghantui orang seperti kamu. Ha.. Ha.. Ha.." Bisik sosok itu sambil menunjukkan wujud aslinya.

Tubuh tanpa daging, hanya tulang belulang dengan tengkorak kepala yang hampir lepas dari sendinya. Jerangkong. Sementara sosok hitam dibelakangnya melepaskan kepalanya lalu ditenteng mendekati Brodin.

Brodin melompat mundur saking kagetnya. Badannya seperti terpaku di tanah, tidak bisa bergerak. Wajahnya pucat, matanya melotot dan jantungnya berdegup dengan kencang.

Kedua hantu itu seolah menemukan permainan baru, mereka tertawa bergelak menyaksikan korbannya ketakutan.

Di saat seperti ini, sekali lagi, bayangan wajah Eyang Sapu melintas dalam benak Brodin. Disebutnya nama itu, “Eyang Sapu, tolong cucumu.”

Kedua hantu itu terkejut seolah mendengar nama yang ditakutinya, mereka menghentikan tawanya,  melangkah mundur lalu menjauhi pintu satpam dan menjauhi Brodin.

Sementara itu, seolah mendapatkan kekuatan baru, Brodin berlari meninggalkan pos satpam sambil berteriak minta tolong. Di belakangnya, kedua hantu itu tertawa getir, tawa yang bermakna ganda, takut dan sedih.

Brodin berlari mengambil jalan memutar mengelilingi kampusnya lalu berhenti di kantin kemudian duduk mengatur nafasnya. Matanya menoleh kesana kemari, takut apabila kedua hantu itu mengejarnya.

"Apes betul aku hari ini."

Setelah merasa kedua hantu itu tidak mengejarnya lagi, ia merasa sedikit tenang. Tanpa ia sadari, tangannya merogoh kantong celananya lalu mengeluarkan sesuatu. Sebuah kunci, kunci ruang senat. Kebetulan letaknya di sebelah kantin dan kebetulan pula ia yang memegang kunci ruangan itu.

Segera Brodin masuk ruang senat lalu menyalakan lampu ruangan. Ruangan itu berantakan, Brodin membersihkannya lalu mengatur tempat untuk meluruskan badannya. Beralaskan spanduk-spanduk yang sudah tidak terpakai, ia merebahkan badannya mencoba mengendurkan syaraf dan ketegangannya.

Namun saat ia merbahkan badannya, ia merasa ada seseorang yang sedang memperhatikan dan mengawasi gerak-geriknya sehingga ia bangun lalu berkeliling mencari tahu. Tidak ada apa pun dan siapa pun di ruangan itu, hanya meja dan kursi yang diam membisu.

Brodin mematikan lampu lalu merebahkan badannya lagi. Perasaan itu bertambah kuat, ia yakin ada seseorang yang sedang mengawasinya. Brodin bangun lalu menyalakan lampu kembali, tidak ada siapa-siapa.

Dimatikan lagi lampu ruangan itu sambil berkata, "saya ini orang susah, mbok jangan diganggu." Lalu ia merebahkan badannya di lantai. Perasaanya menjadi sedikit lebih tenang, karena ketegangan dan lelah berlari, sebentar saja ia sudah terlelap dalam tidurnya.

Dalam tidurnya ia bermimpi, bertemu dengan seorang wanita bergaun putih. Wanita itu bercerita. Ternyata dia adalah anak pemilik rumah yang sekarang menjadi kampusnya, keluarga misionari dari Belanda.

Saat meletusnya peristiwa 1965, keluarganya menjadi korban keganasan oknum-oknum yang mengatasnamakan ideologi. Saat itu usianya masih lima tahun. Dia menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh dan jasadnya dikubur dalam satu lubang. Sedangkan dia sendiri bersembunyi  lalu terjebak di dalam ruangan yang sekarang menjadi laboratorium komputer. Karena ketakutan dan kengerian yang teramat sangat serta tidak ada orang yang menolongnya, akhirnya dia meninggal di ruangan itu.

Arwahnya penasaran sehingga mengganggu setiap penghuni rumahnya. Dia berharap ada orang yang mau memperhatikan atau bisa menyempurnakan arwahnya. Dia sudah lelah bergentayangan.

Brodin terharu mendengar cerita wanita itu, ia berjanji akan menceritakannya kepada pengelolah kampus tentang keberadaannya.

"Dok .. Dok .. Dok .." Suara pintu diketuk. Brodin terbangun lalu membuka pintu, ternyata teman-temannya sudah menunggunya di depan pintu mengajak minum kopi di kantin.

Saat mereka sedang asik ngobrol, muncul Pak Pardi dengan baju seragam satpam berlepotan lumpur.
“Din, saya mau bicara berdua denganmu.” Kata Pak Pardi sambil melangkah meninggalkan kantin. Brodin beranjak lalu mengikuti langkah Pak Pardi.
“Ada apa Pak?”

“Semalam kamu ada di laboratorium komputer?”

“Iya Pak, kenapa? Apakah ada barang yang hilang?”

“Tidak ada, tapi semalam saya diteror hantu, sampai-sampai saya jatuh ke sawah.”

"Semalam saya mencari Pak Pardi ke pos satpam tapi tidak ada, kemudian saya duduk disana selanjutnya saya didatangi jerangkong dan manusia tanpa kepala."

"Hantu itu yang menakuti saya."  Tukas Pak Pardi.

Brodin lalu menceritakan kejadian yang dialaminya semalam, tidak lupa menyampaikan pesan dari wanita bergaun putih yang ditemui dalam mimpinya.

"Coba Pak Pardi berbicara dengan pengelolah kampus ini, bikin selamatan dan panggil orang 'pintar', agar arwah-arwah di lingkungan ini tidak mengganggu kita lagi."

“Baik, nanti saya sampaikan kepada bapak Dekan.” Kata Pak Pardi.

“Semoga arwah-arwah di lingkungan kampus ini menjadi tenang.” Batin Brodin.

0 komentar:

Posting Komentar