Home » » Bulan Madu?

Bulan Madu?

Bulan Madu?


Bulan Madu - Setelah satu minggu menikah, Brodin berencana mengajak istrinya pergi ke Malang, untuk menengok sekaligus mengenalkan istrinya kepada Emaknya.

Sebetulnya menurut adat istiadat yang berlaku bagi masyarakat pada umumnya, jangka waktu sepasang pengantin boleh meninggalkan rumah untuk keluar kota adalah setelah sepasar atau sebelas hari.  Namun karena keperluan untuk mendapatkan restu dari Emaknya  itu dianggapnya lebih penting, Brodin mengabaikan larangan itu.

Brodin mengajukan ijin cuti ke kantornya dengan alasan mau berbulan madu. Setelah mengisi beberapa formulir dan memenuhi beberapa persyaratan, ijinnya diterima.

Tujuan utamanya adalah mengenalkan istrinya kepada Emaknya, orangtua satu-satunya yang tinggal di kota Malang serta menikmati suasana bulan madu di kota kelahirannya.

Ketika niat itu diutarakan kepada kedua mertuanya, mereka mendukung, malah mereka berdua ingin ikut serta sekalian mengantarkan Fatimah dan  berkenalan dengan keluarga Brodin di Malang.

Dengan naik kereta api Express Argo Bromo mereka berangkat menuju kota Malang. Perjalanan dari Jakarta menuju ke kota Malang membutuhkan waktu kurang lebih 12 jam. Berangkat dari stasiun Gambir jam 8 malam, sampai di stasiun Kota Baru, Malang, jam 6 pagi.

Dalam perjalanan, karena hari sudah malam, mereka lebih banyak menonton film yang disiarkan melalui televisi berukuran besar di masing-masing gerbong.

Pada siang hari, banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati, hijaunya persawahan, rimbunnya pepohonan di bukit-bukit dan pegunungan yang membentang sepanjang perjalanan.

Brodin dan Fatimah duduk berdampingan sementara Nyak dan Babenya duduk di kursi seberangnya dipisahkan jalan,

"Bang, Emak itu orangnya seperti apa?" Tanya Fatimah.

"Emak itu orang yang sederhana, lugu dan bijaksana. Mengerti apa yang tersirat dalam jiwa rakyat Indonesia."

"Itu kan lagu, serius dong  .."

"Emak itu orangnya hitam manis, kecil, rambutnya ikal, sekarang usianya sudah menginjak 60 tahun. Seperti layaknya orang Madura, wataknya keras, berani dan terbuka." Kata Brodin menjelaskan ciri-ciri Emaknya.

"Meskipun hanya orangtua angkat, beliau lah, yang selama ini merawat, mengasuh dan membesarkan saya." Lanjut Brodin.

"Emang orangtua kandung Abang kemana?"

"Orangtua kandung Abang sudah meninggal dunia ketika saya masih kecil, Bapak dulu, setahun kemudian Ibu menyusul. Sejak itu Abang berpindah dari satu orangtua angkat ke orangtua angkat lainnya, sampai akhirnya bertemu Emak ini. Orang yang benar-benar menyayangi saya seperti anak kandungnya sendiri."

"Kenapa tidak kita ajak pindah ke Jakarta saja?"

"Di usianya yang sudah cukup tua, beliau tidak mau meninggalkan rumahnya, dimana semua kenangan bersama Bapak ada di situ. Bapak meninggal dan dikuburkan disini, tanah ini, satu-satunya warisan Bapak. Tanah dan rumah kenangan mereka. Emak mau menjaga dan menunggunya sampai saatnya saya kembali ke sini."

Fatimah manggut-manggut, lalu merebahkan kepalanya ke bahu Brodin.

"Kira-kira, Emak mau menerima saya, Bang?"

"Sekeras-kerasnya hati Emak, akan luluh kalau melihat saya, anak yang sangat disayangnya menangis. Kalau beliau tidak mau menerimamu, saya akan menangis sambil berguling-guling di tanah."

"Kayak anak kecil saja. Sudahlah, saya mengantuk." Kata Fatimah, lalu merebahkan badannya di pangkuan Brodin. Brodin pun berusaha memejamkan matanya.

Jam tujuh pagi, mereka sampai di Malang, Brodin mengajak keluarga barunya berjalan-jalan di alun-alun bundar yang tepat berada di dekat kantor kotamadya Malang. Mereka berjalan kaki, sambil menghirup udara pagi, karena letaknya tepat di seberang stasiun kereta api.

gambar alun-alun malang
Alun alun Bundar Malang
Alun-alun itu di kelilingi bunga-bunga yang indah berwarna-warni. Di lapisan kedua, tampak kolam air mancur yang penuh bunga teratai, di tengahnya berdiri patung tugu, simbol pemerintah daerah kota Malang.

Puas melihat pemandangan alun-alun kota Malang, dengan men-carter taksi, Brodin mengajak keluarganya sarapan pagi di pecel Kawi. Rumah makan yang terkenal dengan nasi pecelnya, terletak di jalan Kawi Atas. Setelah sarapan, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Brodin.

Kira-kira setengah jam, mereka sampai di rumah Brodin.  Rumah kecil ditengah-tengah ladang yang ditanami pohon singkong dan pisang. Rumah setengahnya berdinding bata dan setengahnya berdinding 'gedek' atau anyaman bambu, berlantai semen kasar tanpa keramik.  Ada dua kamar tidur, ruang tamu dan dapur di rumah itu.

Emak Brodin berdiri di depan pintu menyambut kedatangan mereka. Brodin bergegas mendatangi lalu  memeluk dan mencium tangannya.

"Mak, iki ojob-ku karo aramaut-ku." Kata Brodin mengenalkan istri dan mertuanya.  Fatimah segera mencium tangan Emaknya. Kemudian Nyak, Babe dan Emak Brodin saling berkenalan dan beramah-tamah..

"Saya Badrun, ini istri saya dan ini Fatimah istri Brodin."

"Saya Emaknya Brodin. Silahkan masuk, rumahnya kecil."

Brodin mengajak mereka masuk ke dalam rumah. Terlihat ruang tamu yang tertata rapi, meja dan kursinya semua terbuat dari bambu. Ada juga bale-bale bambu, semuanya hasil karya Brodin saat masih kuliah. Di dinding, terpasang foto-foto Brodin mulai dari kecil sampai foto saat wisuda.

Di meja tamu sudah tersaji hidangan ala Emak Brodin, kopi, minuman, kue-kue dan sepiring singkong goreng.

"Begini Be, Nyak, kondisi rumah saya." Kata Brodin.

Nyak dan Babe Brodin manggut-manggut sambil memandangi foto-foto di dinding.

"Jadi lu itu, sarjana Din?"

"Ya Be."

"Kenapa lu mau jadi kenek segala?"

"Iseng saja Be, hanya membantu teman."

"Mendingan lu bantuin gue di pasar."

"Ya Be, nanti akan saya bantuin."

Saat Fatimah, Nyak dan Babe melihat foto-fotonya, Brodin mendekati Emaknya.

"Yek opo Mak, ayu bojoku?"

"Kok pinter koen golek bojo. Lek iki, aku yo setuju. Wis ayu, gelem ngambung tangane Emak sing mambu trasi." Jawab Emaknya.

"Sampean gak wisuh disek ta?"

"Gak sempat, lek gelem, yo ngene ae."

"Wah kemproh sampean iki."

"Terus, aramaut-mu turu ndek endi?" Tanya Emak.

"Nang hotel ae Mak, sesok wis mbalik nang Jakarta maneh. Aku ambek ojob, sik suwe ndek kene, semingguan lah." Jawab Brodin.

"Wis aturen dewe, yek opo penake, aku manut ae."

"Beres Mak."

Setelah puas melihat foto-foto yang dipajang di dinding, H. Badrun, Istrinya dan Fatimah duduk di kursi bambu. Emak Brodin mendampingi Nyak Fatimah.

"Begini Kak, maksud kedatangan kami kemari mau menyambung tali silaturahmi. Karena anak-anak kita sudah terikat dalam tali pernikahan, maka kita sudah menjadi satu keluarga besar." Kata H. Badrun.

"Maafkan saya, waktu pernikahan kemarin, saya tidak bisa datang, maklum sudah tua."

"Tidak apa-apa Kak, yang penting sekarang Kakak merestui hubungan Brodin dan Fatimah, anak saya."

"Baik, saya juga menitipkan Brodin, marahin dan tegur dia jika melakukan kenakalan. Masa kecilnya kurang kasih sayang, sejak kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya, sampai akhirnya saya yang mengasuh dan membesarkannya."

Setelah merasa cukup berbicara tentang anak-anak mereka, tentang niatan mereka datang ke Malang, mertua Brodin mohon pamit, besok mereka mau kembali ke Jakarta.

Kemudian Brodin mengajak keluarganya berjalan-jalan melihat-lihat kota Malang. Setelah berkeliling, Brodin mengantarkan mertuanya untuk beristirahat di hotel Pelangi, hotel yang berada tepat di pusat kota, dekat dengan masjid Jami', alun-alun 'kotak' dan pusat perbelanjaan.

Sementara mertuanya istirahat, Brodin dan Fatimah berjalan-jalan di alun-alun 'kotak', disebut kotak karena bentuknya kotak. Setelah puas bernostalgia di tempat itu, mereka kembali ke rumah Emaknya.

Malam hari mereka bercengkerama di ruang tamu, sambil menikmati singkong rebus, Emak Brodin menceritakan masa kecil Brodin dan kenakalannya.

"Anak ini dulu nakal sekali. Hampir setiap hari berkelahi, hampir setiap hari juga, Emak dilabrak orang tua anak yang diajaknya berkelahi. Apa sekarang masih sering berkelahi di Jakarta?"

"Nggak Mak, sekarang saya berkelahinya sama dia saja." Jawab Brodin sambil menunjuk Fatimah. Fatimah melengos.

"Nak Fatimah."

"Ya Mak."

"Titip anak saya ini, waktu kecil hidupnya susah, saat anak-anak sebayanya bermain, ia bekerja membanting tulang mencari uang untuk membiayai sekolahnya." Kata Emak.

"Ya Mak."

"Tapi dia ini, memang nakal, suka bikin saya khawatir, kalau tidak berkelahi, tahu-tahu ada cewek nyariin dia." Fatimah mengadu.

"Masak begitu kelakuanmu? Sekarang kamu sudah menikah, punya tanggung jawab." Kata Emak menegur Brodin.

"Nggak Mak. Hanya teman saja, tapi Fatimah sudah cemburu duluan."

"Teman apa? Masak teman kok minta dinikahin." Tukas Fatimah.

"Ah, itu kan sudah berlalu, sudahlah jangan dibahas, yang penting kita sudah menikah."

"Kalau dulu, mana ada cewek yang mau sama dia, entah karena kenakalannya atau karena dia anak orang susah. Setelah dia bekerja, baru ada cewek yang mencarinya." Kata Emak.

"Terus, kenapa kamu suka sama dia. Apa karena fisiknya saja atau karena pekerjaannya?"

"Orangnya gagah Mak. Baik hati dan suka menolong, Fatimah cinta mati sama dia. meskipun waktu ketemu, dia hanya seorang kenek bus."

"Masak sekolah mahal-mahal, di Jakarta cuma jadi kenek bus?"

"Iseng saja Mak. Mak tahu Dani, teman saya anak desa Tanjung, di sana dia jadi sopir bus, saat libur kantor, saya membantunya jadi keneknya sekalian cuci mata. Dirumah saja, bosan Mak."

"Oalah, mendingan kamu ngurus istrimu."

"Itu dulu Mak. Sebelum kami menikah. Sekarang, daripada jadi kenek bus, mendingan 'kelonan' saja dirumah."

"Ya sudah, Mak mau istirahat dulu."

"Ya Mak." Jawab mereka kompak.

Setelah Emak Brodin masuk, Brodin mengajak Fatimah pergi ke kebun di belakang rumahnya. Di situ ada bale-bale bambu yang biasa digunakan Brodin dan Emaknya berbincang-bincang. Mereka duduk disitu.

Kebetulan langit sangat cerah, rembulan nampak anggun di singgasananya, bintang-bintang bertaburan menyebarkan sinarnya, kebun yang biasanya gelap menjadi terang-temaram.

Sambil memandang langit, Brodin bercerita tentang kisah masa kanak-kanaknya. Teman-teman bermainnya, kenakalannya dan perjuangannya mencari uang untuk biaya sekolahnya.

Fatimah hanya manggut-manggut mendengar kisahnya. Mendekati tengah malam, Fatimah merasa kedinginan.

"Mas, ayo masuk, di sini dingin."

"Ayo." Sahut Brodin bersemangat.

Setelah menutup pintu dan jendela, mereka masuk ke dalam kamar.

Dinginnya udara pegunungan di kota Malang, mengajak mereka mencari kehangatan. Selimut berlapis seolah tidak mampu menahan dinginnya udara. Hanya kehangatan sepasang suami-istri yang mampu mengalahkan dinginnya malam.

Mereka berdua saling menghangatkan, dimulai dengan satu pelukan, beralih ke cumbuan akhirnya membawa mereka memadu kasih. Saat aktifitas mereka semakin meningkat, ibarat gunung berapi aktif yang mau memuntahkan laharnya.

"Bruakk.."

Ranjang mereka yang terbuat dari bambu, ambruk.

"Ada apa Din?" Tanya Emaknya kaget.

"Ambene ambruk Mak.."

"Oalah .. Sesok ae didandani."

Rusaklah suasana Bulan Madu, akhirnya mereka  menghabiskan sisa malam hanya dengan menonton televisi sampai pagi.

0 komentar:

Posting Komentar