Falsafah di balik Aksara Jawa - Seminggu sudah berlalu sejak
Brodin menjalani laku mutih untuk memahami rahasia yang terkandung dalam aksaraJawa namun ia masih belum puas dengan pemahaman yang ditangkapnya.
Brodin mencoba menggali lebih
dalam tentang makna dari simbol-simbol yang terkandung dalam cerita asal-muasal
aksara Jawa. Menurut pendapatnya, pengertian yang dicernanya ketika menjalani
laku itu masih sebagian kecil saja, ada rahasia lebih besar yang belum
terpecahkan menyangkut hidup dan kehidupannya. Rasa penasaran yang begitu besar
untuk memahami rahasia aksara Jawa mendera hatinya. Membuatnya susah tidur.
“Sudah kepalang tanggung, saya
harus benar-benar memahaminya. Jika saya hanya puas dengan pengertian ini maka
saya belum benar-benar memahami rahasia
ini, lebih baik saya tanyakan pada Mbah Sunari.” Batin Brodin.
Keesokan harinya, ia mengunjungi
rumah Mbah Sunari.
“Laopo maneh Din? Sekarang sudah malam, besok sore saja kalau kamu
mau pijat!“ Kata Mbah Sunari yang duduk di balai bambu kesukaannya.
“Nggak Mbah, saya datang kemari mau silaturahmi, mau ngobrol saja.
Ini saya bawakan gula, kopi dan rokok kesukaan Mbah. Buat melekan, saya mau tukar fikiran.”
“Moh aku, Gak mau aku.” Jawab Mbah Sunari.
“Kenapa Mbah?”
“Saya sudah tua, di usia saya
ini, pikiran, perasaan dan angan-angan saya sudah cukup bersih dari urusan keduniawian. Kalau mau ditukar dengan pikiranmu yang masih
kotor, yo gak mau aku.”
“Telek sampean Mbah. Ya sudah, saya pulang saja. Kopi, gula dan
rokoknya saya bawa pulang lagi.” Kata Brodin kesal.
“Hehehe, begitu saja sudah
marah. Sana bikin kopi sendiri! “
Perintah Mbah Sunari.
Brodin bergegas menuju dapur
rumah Mbah Sunari untuk membuat kopi.
Baginya, rumah itu sudah seperti rumahnya sendiri sehingga dengan
leluasa dia merebus air, mengambil gelas dan meracik kopi sendiri. Tidak lama
kemudian, Brodin keluar sambil membawa dua gelas kopi.
“Ini Mbah, kopinya.” Kata Brodin
sambil duduk di samping Mbah Sunari.
“Ada apa Din? Kok tumben,
malam-malam kamu kemari?”
Brodin lalu menceritakan
pengalamannya saat menjalani laku
untuk mengetahui rahasia aksara Jawa. Mbah Sunari mendengarkan dengan
manggut-manggut.
“Begitu ceritanya Mbah, saya
masih belum mengerti apa rahasia yang sebenarnya.”
“Katanya kau tidak mau ‘nglakoni’?”
“Saya penasaran Mbah.”
“Baiklah, saya akan menjelaskan
sesuai pemahamanku, kurang-lebihnya kamu cari sendiri. “
Mbah Sunari lalu menceritakan
kisah tentang Kisah Aji Saka. Cerita yang sudah akrab di telinga Brodin.
Cerita itu didengar dari guru bahasa Jawa-nya saat ia masih berada di Sekolah
Dasar.
Brodin mendengarkan dengan
seksama, mencoba menangkap, memahami dan menghayati kisah tersebut.
Setelah Mbah Sunari selesai
bercerita, Brodin bertanya “siapakah sebenarnya Aji Saka, Dora, Sembada dan
Dewata Cengkar? Apakah mereka itu sosok yang benar-benar ada atau hanya simbol
atau kiasan yang diciptakan oleh pengarangnya?”
Mbah Sunari menarik nafas panjang
lalu menghembuskannya perlahan seolah menjajagi apa yang sedang dipikirkan oleh
Brodin.
“Pada jaman dahulu, para leluhur
kita, menyampaikan ilmu atau pengetahuan lainnya secara tersirat melalui lagu,
kidung, cerita dalam bentuk dongeng atau karya sastra. Kisah Aji Saka ini
adalah salah satunya. Hanya dengan
kebersihan hati dan berkah dari yang Maha Kuasa, seseorang bisa memahami makna
yang tersirat di dalamnya.”
“Pelajaran yang terkandung pada
kisah Aji Saka ini adalah pelajaran untuk mengenal diri. Manusia adalah mahluk
ciptaan Tuhan yang paling mulia sebagai manifestasi keberadaanNya di muka bumi
ini. “
“Tentang Dora dan Sembada, di
dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang silih berganti menguasai jiwa
raga manusia. Dora melambangkan kekuatan yang mengajak berbuat jahat disebut
kekuatan hitam sedangkan Sembada mewakili kekuatan yang mengajak berbuat baik disebut
kekuatan putih. Keduanya adalah abdi Aji Saka yang mewakili pribadi manusia.”
“Dalam kehidupan sehari-hari,
mulai bangun tidur sampai tidur lagi, seorang manusia selalu memilih diantara dua kekuatan itu yang
bersembunyi dalam bentuk keinginan. Kadang yang baik menang, kadang yang jahat
menang, keduanya silih berganti mengisi hati manusia. Demikian juga dengan
perasaan manusia, hari ini sedih, besok senang, bahkan dalm hitungan detik bisa
berubah. Orang Jawa menyebutnya buto
kembar.”
“Sedangkan Dewata Cengkar melambangkan hawa nafsu jahat yang menguasai
diri manusia. Ketika seorang manusia dikuasai oleh hawa nafsunya maka dia akan
berubah menjadi seperti Dewata Cengkar, seorang raksasa yang mengandalkan
kekuasaan, kesaktian dan mengikuti kemauannya sendiri tidak mempedulikan orang
lain.”
Mbah Sunari berhenti sejenak.
“Bagaimana? Sudah mengerti kamu?”
“Belum Mbah. Terus, bagaimana
dengan Aji Saka ?” Tanya Brodin.
“Jika manusia sudah berhasil
menguasai hawa nafsunya maka dia akan menjadi seorang raja bagi dirinya
sendiri, terbebas dari pengaruh ‘buto kembar’ seperti Aji Saka.”
“Apa makna keris pusaka yang
dititipkan Aji Saka kepada Sembada? “
“Pusaka atau sikap kandel adalah
suatu pegangan atau pedoman atau keyakinan yang dipegang oleh seorang manusia.”
“Baiklah, untuk sementara itu
dulu. Kamu harus mempelajarinya lebih lanjut dalam perjalanan hidupmu, kalau
memang berjodoh dan mendapatkan restu dari yang Maha Kuasa, kamu akan menemukan
kebenaran sejati dalam dirimu.” Kata Mbah Sunari mengakhiri penjelasannya.
Brodin diam. Pengetahuannya tentang Aksara Jawa
dan Aji Saka sudah bertambah, namun dia masih belum mengerti, masih sebatas
pengetahuan bukan pengertian. Tapi dia menyabarkan dirinya, “Aku harus
mengendapkannya terlebih dahulu lain kali akan aku gali lebih dalam.”
Baca Juga : Rahasia Aksara Jawa, Kisah Aji Saka
Baca Juga : Rahasia Aksara Jawa, Kisah Aji Saka
0 komentar:
Posting Komentar