Home » » Pondok Pesantren, Buah Kenakalan Anak

Pondok Pesantren, Buah Kenakalan Anak

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengembangan Agama Islam, di samping ilmu agama juga diajarkan pengetahuan umum seperti di sekolah umum. Peraturan yang diterapkan sangat ketat, para santri tinggal di asrama, jadwal belajar, mengaji dan istirahat diatur sedemikian rupa dengan tujuan membentuk kedisiplinan bagi para santrinya.

Jombang terkenal sebagai kota santri dan banyak tokoh agama maupun politik berasal dari daerah ini, ada empat pondok besar yaitu Tebu Ireng, Tambak Beras, Denanyar dan Darul Ulum serta banyak lagi pesantren-pesantren kecil.

Di salah satu pondok pesantren kecil setara Tsanawiyah yang ada di daerah Tebu Ireng akhirnya Sukmadi tinggal,  di lingkungan dan suasana yang jauh berbeda dengan lingkungan pergaulannya di Surabaya. Pondok pesantren ini berada di sebuah desa kecil, sepi dan jauh dari keramaian.

Di pondok pesantren yang mempunyai jadwal dan peraturan yang ketat bagi para santrinya ini, Sukmadi harus menjalankan sholat 5 waktu dan mengaji, jam tidur dan istirahat diatur, tidak bisa bebas seperti dulu lagi.

Pondok Pesantren itu terdiri dari sebuah Langgar (masjid kecil) yang luasnya bisa menampung 300 santri, didepannya ada pohon sukun dan pohon jambu,  ada 4 asrama yang luasnya 10x10 yang diisi 30 santri. Ada 2 rumah panggung yang terbuat dari bambu yang digunakan untuk “ngaji malam” terletak diantara pohon - pohon kelapa. Tandon ada 3 buah, sumber air berasal dari sumur kerek dimana para santri bergiliran untuk mengisinya.  Dirumah kyai ada pohon delima, lalu dibelakangnya ada kebun tebu, dan kebun pisang, ada kandang kambing jumlahnya 12 ekor. Lalu jarak 50 m ada persawahan, 500 m ada bukit yang oleh penduduk setempat disebut bukit  “pucang”.

Menurut cerita, bukit pucang ini angker banyak penunggunya, di sana banyak ditemukan barang-barang pusaka seperti keris, tombak, cemeti, dll. Sehingga pada malam-malam tertentu banyak orang yang mencari barang pusaka pergi ke sana.

Di pondok pesantren ini diajarkan mengaji dan membaca huruf Arab pegon (Huruf Araf yang tidak ada arokatnya), ilmu kitab kuning, tasrifan, tajwid, fiqih, sorof, dll. Pada saat itu di Pesantren itu diajarkan juga ilmu bela diri serta ilmu keindahan atau keelokan tubuh seperti ilmu sepi (angin, air , api, bumi), bayan maut, ghoibul ghuyub, barayan, charajek, fatakurrahman, makdum sarpin, mahbut, ahyan dll, dimana tidak semua pesantren mengajarkan hal itu.

Susah bagi Sukmadi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Minggu pertama berada di pondok pesantrean, Sukmadi merasa seperti ‘tidak diinginkan’ dan dibuang oleh orangtuanya. Lingkungan yang sepi, jadwal dan peraturan yang ketat membuatnya merasa terasing dan terkekang hidupnya. Jauh berbeda dengan lingkungannya di kota yang penuh keramaian dan hiburan, di sana ketika orangtuanya sibuk dengan pekerjaannya, ia bebas pergi dan bermain tanpa terikat waktu dan tanpa ada yang melarang. Ia marah, benci dan jengkel kepada orang tuanya, mengapa ia ditaruh di tempat seperti ini, apakah orang tuanya sudah tidak menyayanginya lagi. Berbagai pikiran jelek dan prasangka buruk berkecamuk dalam kepalanya. Malam harinya ia sering menangis diam-diam. 

Minggu kedua, ia mulai berbaur dengan teman – temannya sehingga perasaan sedihnya sedikit demi sedikit mulai hilang. Ia hanya mengikuti teman-temannya saja, temannya mengaji ia ikut, temannya Sholat ia ikut Sholat. Hanya ikut-ikutan saja tidak keluar dari hatinya. Tidak ada semangat untuk belajar hanya menjalankan rutinitas yang ada di pondok pesantren saja. Kadang waktu teman-temannya semua sedang mengaji, ia malah berjalan-jalan dan bermain di kebun tebu, mencari singkong, memancing ikan dan lain lain. Ia bosan dengan rutinitas yang ada.

Semua pelajaran yang diajarkan tidak ada yang menarik dan membekas dalam diri Sukmadi, baginya itu hanya angin lalu belaka, mengaji dia tidak bisa dan malas belajar, apalagi untuk mengamalkan bacaan yang diberikan oleh pembimbingnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi para santri setiap pengajar atau pembimbingnya memberikan suatu bacaan atau amalan, mereka akan menjalankan lakunya dengan berpuasa dan me-wiridkannya sampai berhasil. Sukmadi jangankan berpuasa, amalan atau bacaannya saja ia sering lupa.

Sifat iseng dan nakal Sumadi muncul begitu  melihat teman-temannya, yang masih polos dan lugu, rata-rata mereka berasal dari desa. Bagi Sukmadi mereka menjadi makanan empuk untuk menyalurkan keisengannya. Satu per satu mereka dipengaruhi, sehingga semakin lama semakin banyak temannya yang suka bolos dari kegiatan pesantren untuk ikut bermain dengan Sukmadi. Mereka diajarin cara bermain judi, berkelahi dengan santri dari pondok pesantren lain, mencuri tebu dan kenakalan yang lain. Dengan diam-diam pada malam hari, tanpa sepengetahuan seniornya, dia sering mengajak teman-temannya untuk bermain judi dengan taruhan kecil-kecilan. Lambat laun ketahuan juga perbuatannya, sehingga dia sering mendapatkan hukuman dari para seniornya seperti mengisi bak mandi, mengepel lantai, menggembala kambing, dll. Hukuman demi hukuman sering ia dapatkan setiap ia melakukan kesalahan, yang pada akhirnya malah menjadi kebiasaan Sukmadi. Kegiatan mengaji ditinggalkanya dan dia lebih menikmati kegiatan yang bagi santri lain merupakan hukuman.

0 komentar:

Posting Komentar